Laman

Senin, 10 Juni 2013

PERMINTAAN



Sarmin menggenggam erat lembaran biru di tangannya. Dengan tergopoh ia bergegas mengambil sepeda kumbang yang disandarkannya di bawah pohon Sengon di tepi sawah. Lima puluh ribu itu, hasil perasan keringatnya seharian. Lima puluh ribu yang akan ia berikan pada Beki, anak ketiganya, untuk bekal ke sekolah esok.
“Kata petugas tata usaha uang BSMku sudah habis Pak, ndak bisa gratis lagi buku LKSnya.” Terngiang kata-kata anaknya pagi tadi, ketika ia baru saja meraih piring berisi nasi dan sambal korek yang disodorkan istrinya.
Segera Sarmin menggenjot sepeda kumbangnya. Pulang. Untuk segera menyerahkan uang itu pada anak lelaki satu-satunya yang masih sekolah. Dua kakaknya telah mengadu nasib di Jakarta. Kuli batu, tak lebih baik dari pekerjaan bapak mereka yang buruh tani, cuma baiknya mereka tidak menanggung hidup siapa-siapa. Sarmin hanya menuntut mereka untuk mencari bekal masa depan, tak ingin membebani mereka dengan kebutuhan pendidikan adik-adik dan belanja ibu mereka yang sesungguhnya terasa melelahkan bagi Sarmin.
“Pak, kalau bisa duitnya besok sudah dibayar, Beki malu ditagih terus sama pegawai koperasi.” Rengek anak remajanya teringat kembali. Dan pagi itu Sarmin muntab, tanpa sadar ia mengumpat dan mencecar anaknya dengan amarah karena merasa usahanya membanting tulang tak dihargai.
Kowe wis  gedhe. Seharusnya sudah bisa mikir. Masmu dulu sekolah Cuma lulus SD. Kamu bisa sekolah sampai SMP seharusnya bisa bersyukur. Bisamu cuma menuntut saja.” Dan omelan itu berlanjut, terus, sampai ia berangkat ke sawah.
Sarmin menggenjot sepedanya lebih kencang, beberapa puluh meter lagi sampai ke rumah mungilnya yang kian terlihat condong ke kiri karena sebagian bambu penyangganya telah lapuk. Rumahnya yang entah telah berapa tahun tak pernah dicat ulang, apalagi direnovasi. Dinding anyaman bambu yang dahulu berwarna putih itu koyak di beberapa bagian. Sarmin semakin semangat menggenjot sepedanya.
Ia menyandarkan sepeda begitu saja pada sebuah bangku kuno di teras rumah, satu-satunya peninggalan orang tuanya yang masih tersisa selain sepeda kumbangnya. Yang lain telah habis terjual untuk berbagai kebutuhan, termasuk sawah dan ternak. Sarmin segera masuk ke dalam rumah yang tak tertutup. Sepi. Ia memanggil nama istrinya, lalu anak ketiga, keempat, kelima, dan keenam, semua telah dipanggilnya. Tak ada sahutan.
Tangannya meraba saku. Uang lima puluh ribu itu masih di sana. Senyumnya mengembang. Kali ini Beki pasti bisa tersenyum lega dan membayar buku LKSnya dengan bangga. Tanpa mengangsur. Sekaligus uang itu menjadi tanda permintaan maafnya pada anak lelaki ketiganya itu atas omelannya tadi pagi.
“Min, kamu sudah pulang?” Lantang suara Yu Siyem, kakak iparnya, yang tinggal di rumah sebelah. Belum sempat Sarmin menjawab, ketika perempuan itu menyeruak masuk ke dalam rumah, terengah-engah. “Beki, dibawa ke puskesmas. Mendem. Habis nenggak obat pari.”
Perempuan itu berhenti di tengah ruangan, terhuyung oleh tubrukan badan Sarmin yang berlari tergesa keluar dan menyambar sepedanya. Lembaran biru di sakunya tak dipedulikannya lagi.

Glosarium:
BSM: Bantuan Siswa Miskin
LKS: Lembar Kerja Siswa
Sambal korek: sambal yang terbuat dari cabai, terasi dan garam, dengan edikit perasan jeruk nipis
Muntab (Jawa): marah
Kowe wis gedhe (Jawa): kamu sudah besar
Mendem (Jawa): mabuk, keracunan
Nenggak (Jawa, kasar): minum
Obat pari: sebutan untuk pestisida dan sejenisnya yang digunakan pada tanaman padi

4 komentar:

  1. Mirip FF (flash fiction) yaa mbak, ditambahin dengan bumbu2 berbahasa Jawa, karena saya aseli wong Jowo jadi mudheng. Ini usulan ya mbak,,,jika bikin lagi campuran bahasa Jawa, di awalan katanya lebih nyaman diberi nomor, biar non Jawa bisa memahami dengan mudah, Ini juga sudah cukup oke, diberi tanda italic :) Slm hangat dari Kudus :)

    BalasHapus
  2. wah lha kog sampe bunuh diri? :(

    BalasHapus