Sarmin menggenggam
erat lembaran biru di tangannya. Dengan tergopoh ia bergegas mengambil sepeda
kumbang yang disandarkannya di bawah pohon Sengon di tepi sawah. Lima puluh
ribu itu, hasil perasan keringatnya seharian. Lima puluh ribu yang akan ia
berikan pada Beki, anak ketiganya, untuk bekal ke sekolah esok.
“Kata petugas tata
usaha uang BSMku sudah habis Pak,
ndak bisa gratis lagi buku LKSnya.” Terngiang
kata-kata anaknya pagi tadi, ketika ia baru saja meraih piring berisi nasi dan sambal korek yang disodorkan istrinya.
Segera Sarmin
menggenjot sepeda kumbangnya. Pulang. Untuk segera menyerahkan uang itu pada
anak lelaki satu-satunya yang masih sekolah. Dua kakaknya telah mengadu nasib di
Jakarta. Kuli batu, tak lebih baik dari pekerjaan bapak mereka yang buruh tani,
cuma baiknya mereka tidak menanggung hidup siapa-siapa. Sarmin hanya menuntut
mereka untuk mencari bekal masa depan, tak ingin membebani mereka dengan kebutuhan
pendidikan adik-adik dan belanja ibu mereka yang sesungguhnya terasa melelahkan
bagi Sarmin.
“Pak, kalau bisa
duitnya besok sudah dibayar, Beki malu ditagih terus sama pegawai koperasi.” Rengek
anak remajanya teringat kembali. Dan pagi itu Sarmin muntab, tanpa sadar ia mengumpat dan mencecar anaknya dengan amarah
karena merasa usahanya membanting tulang tak dihargai.
“Kowe wis
gedhe. Seharusnya sudah bisa mikir. Masmu dulu sekolah Cuma lulus
SD. Kamu bisa sekolah sampai SMP seharusnya bisa bersyukur. Bisamu cuma menuntut
saja.” Dan omelan itu berlanjut, terus, sampai ia berangkat ke sawah.
Sarmin menggenjot
sepedanya lebih kencang, beberapa puluh meter lagi sampai ke rumah mungilnya
yang kian terlihat condong ke kiri karena sebagian bambu penyangganya telah lapuk.
Rumahnya yang entah telah berapa tahun tak pernah dicat ulang, apalagi
direnovasi. Dinding anyaman bambu yang dahulu berwarna putih itu koyak di
beberapa bagian. Sarmin semakin semangat menggenjot sepedanya.
Ia menyandarkan
sepeda begitu saja pada sebuah bangku kuno di teras rumah, satu-satunya peninggalan
orang tuanya yang masih tersisa selain sepeda kumbangnya. Yang lain telah habis
terjual untuk berbagai kebutuhan, termasuk sawah dan ternak. Sarmin segera
masuk ke dalam rumah yang tak tertutup. Sepi. Ia memanggil nama istrinya, lalu
anak ketiga, keempat, kelima, dan keenam, semua telah dipanggilnya. Tak ada
sahutan.
Tangannya meraba
saku. Uang lima puluh ribu itu masih di sana. Senyumnya mengembang. Kali ini
Beki pasti bisa tersenyum lega dan membayar buku LKSnya dengan bangga. Tanpa mengangsur.
Sekaligus uang itu menjadi tanda permintaan maafnya pada anak lelaki ketiganya
itu atas omelannya tadi pagi.
“Min, kamu sudah
pulang?” Lantang suara Yu Siyem, kakak iparnya, yang tinggal di rumah sebelah. Belum
sempat Sarmin menjawab, ketika perempuan itu menyeruak masuk ke dalam rumah,
terengah-engah. “Beki, dibawa ke puskesmas. Mendem.
Habis nenggak obat pari.”
Perempuan itu berhenti
di tengah ruangan, terhuyung oleh tubrukan badan Sarmin yang berlari tergesa keluar
dan menyambar sepedanya. Lembaran biru di sakunya tak dipedulikannya lagi.
Glosarium:
BSM:
Bantuan Siswa Miskin
LKS:
Lembar Kerja Siswa
Sambal korek: sambal yang terbuat dari cabai,
terasi dan garam, dengan edikit perasan jeruk nipis
Muntab (Jawa):
marah
Kowe wis gedhe (Jawa): kamu sudah besar
Mendem (Jawa):
mabuk, keracunan
Nenggak (Jawa, kasar): minum
Obat pari: sebutan untuk pestisida dan sejenisnya
yang digunakan pada tanaman padi
Mirip FF (flash fiction) yaa mbak, ditambahin dengan bumbu2 berbahasa Jawa, karena saya aseli wong Jowo jadi mudheng. Ini usulan ya mbak,,,jika bikin lagi campuran bahasa Jawa, di awalan katanya lebih nyaman diberi nomor, biar non Jawa bisa memahami dengan mudah, Ini juga sudah cukup oke, diberi tanda italic :) Slm hangat dari Kudus :)
BalasHapusTerima kasih Mbak.... ^_^
Hapuswah lha kog sampe bunuh diri? :(
BalasHapusItulah hidup. ini based on true story loh
Hapus