Laman

Minggu, 28 April 2013

ULAR


Malam itu Jumat Kliwon, waktu di mana, kata orang, banyak lelembut bertebaran di muka bumi. Ranti tergesa membuka pintu dapur, bersiap menuju kamar mandi kontrakannya yang terletak di belakang rumah, 20 meter dari dapur dan terpisah oleh sumur. Ranti berhenti sejenak, mengedarkan pandangan ke arah kebun di belakang rumah yang terlihat gelap. Letak rumah kontrakan itu tersisih di pojok gang dan tak ada rumah lagi di sebelahnya. Rumah tua yang sudah agak reot. Kontras sekali dengan rumah Pak Sahlan, sang empunya kontrakan, yang tinggal di rumah mewah di mulut gang, di tepi jalan raya.
Mengingat Pak Sahlan membuat bulu kuduk Ranti berdiri seketika. Orang bilang, laki-laki tua yang kaya raya itu memelihara pesugihan ular. Awalnya Ranti tak percaya, tapi bila mengingat ia seringkali melihat ular di sekitar kontrakan, dan Pak Sahlan yang hidup mewah sedangkan ia tak pernah terlihat secara formal bekerja, keyakinannya agak goyah juga. Memang benar Pak Sahlan memiliki beberapa rumah yang dikontrakkan, tapi apa mungkin bisa hidup semewah itu dengan mengandalkan uang hasil sewa rumah yang murah meriah.
Sejenak Ranti menarik nafas di pintu dapur, menepis segala prasangkanya. Setengah berlari Ranti menuju ke kamar mandi. Tapi, brukkkk. Kakinya terantuk sesuatu di dekat sumur. Ranti tersungkur.
Ranti mengaduh, menengok ke arah benda yang membuat kakinya tersandung. Sesuatu yang semula terlihat hitam itu lama-lama terlihat jelas di bawah remang lampu dapur yang menerobos ke luar. Ular. Ya, ular. Besar. Sangat besar. Lingkar tubuhnya kira-kira sebesar betis suaminya yang gemuk. Tubuhnya bercorak kecoklatan seperti batik. Sendi-sendi Ranti terasa lemas seketika. Ingatannya kembali pada kisah Pak Sahlan yang ia dengar dari beberapa tetangga.
Ranti nanar mencari sesuatu untuk mengusir ular itu. Ular besar itu melingkarkan tubuhnya, kepalanya terangkat perlahan. Ranti meraih apa saja yang ada di dekatnya. Hanya ada sikat WC tergeletak di dekat sumur.
“Hush! Hush! Pergi!” Ranti mengayunkan sikat WC ke arah ular itu.
Alih-alih pergi, ular itu mendongakkan kepalanya ke arah Ranti. Pertanda siap menyerang. Ranti mundur dan berdiri. Ular itu menjulurkan lidahnya. Mengayun-ayunkan kepalanya ke arah Ranti. Ranti mengangkat sikat WCnya tinggi-tinggi. Mundur lagi. Ular besar itu maju pelan-pelan ke arahnya. Kepalanya masih terangkat. Lidahnya menjulur-julur, suaranya mendesis. Ranti terus mundur, dan ular itu terus maju. Mulut Ranti komat-kamit membaca ayat kursi, berharap ular besar itu lenyap dan mencari mangsa lain.
“Pasti ular jejadian, mungkin benar pesugihan!” kata hati Ranti. Ia belum pernah melihat ular besar itu di sekitar rumahnya. Ular yang sering ditemukan suaminya paling besar sepanjang gagang sapu ijuk.
Ranti menyerah, ia melempar sikat WC yang dipegangnya ke arah ular itu dan segera membalikkan badan. Ranti berlari memutari sumur, menuju dapur. Kakinya menabrak apa saja yang menghalangi jalan. Ranti tak peduli. Ia terus berlari. Kakinya kembali tersungkur di dekat pintu dapur. Segera Ranti beranjak bangkit. Terlambat. Ular itu terlalu dekat dan telah membelitkan tubuhnya di kaki Ranti. Ranti berteriak sekuat tenaga. Ular itu terus membelit. Semakin kuat. Remuk rasanya tulang-tulang Ranti. Tangan dan kakinya meronta berusaha melepaskan ular hitam itu. Ular itu terus membelit. Dan Ranti semakin berteriak. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ular itu membelit leher Ranti. Ranti tercekik, nafasnya tersengal. Tangannya masih meronta-ronta.
“Pak, bangun, Pak.” Irfan terbangun karena mendengar suara ribut. Aditya, suami Ranti, yang tertidur di kamar anaknya menggeliat dengan malas. Tapi kemudian melompat dari tempat tidur demi mendengar seseorang berteriak tertahan di tengah malam.
Mereka bergegas menuju ke arah Ranti yang meronta-ronta. Tangannya menarik-narik benda berwarna kecoklatan yang membelit tubuhnya.
“Ibuuu....” Aditya dan Irfan berteriak bersamaan mendekati Ranti. Mata Ranti terbelalak. Tangannya masih meronta. Nafasnya tersengal.
“Makanya, kalo tidur baca doa dulu. Biar ndak ngigau.” Ujar Aditya sambil melepaskan selimut batik coklat yang membelit tubuh Ranti. Sambil nyengir, Irfan beranjak mengambilkan air minum untuk ibunya yang baru saja terbangun dari mimpi.

FF ini dimuat juga di www.sambui.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar