Lihatlah, langitpun
mendung. Seperti ikut berkabung atas matinya satu cinta dalam dua hati yang
lelah saling menopang di atas terjal jalan berduri. Cinta antara engkau dan
dia.
Lihatlah, engkau pun
lelah. Penat berjalan sekian tahun tanpa kejelasan. Digantung dalam batas
jurang antara cinta dan benci yang kini semakin terlihat samar oleh kelam. Nanar
matamu menatap jalanan di depan yang semakin gelap oleh pekatnya mendung.
Kemudian hujan pun mulai turun. Menderas. Mengguyur hatimu yang semula telah
dingin, kini membeku.
Pukul setengah sepuluh
pagi, namun kau rasa seperti subuh hari. Matahari sembunyi entah ke mana.
Mendung menciptakan kelam. Hatimu pun suram. Meskipun memang telah lama benda
di dalam dadamu itu tak lagi disinari cinta. Diam-diam kau menyukuri turunnya
hujan yang menutupi air mata yang tak berhenti meleleh di pipimu yang ranum
memerah oleh hawa dingin. Kulit putihmu semakin terlihat pucat dan berkerut
tergerus air.
“Umurku tak panjang,
Nis. Bersabarlah sebentar.” Kalimat itu telah bertahun-tahun menemanimu. Dan
kata maut yang ia lantunkan dalam setiap pintanya itu tak jua terwujud meski
telah beribu kali pula kau aminkan. Dan kau semakin lelah menunggu. Dengan hati
yang setiap hari disakiti. Dengan teriakan, celaan, hinaan. Hatimu semakin
membenci, namun juga tak bisa berhenti mencintai.
“Biarkan aku pergi!” Katamu
suatu hari.
“Tidak, aku tak
bisa!” Jawabnya.
“Perlukah aku
membunuhmu? Aku lelah disakiti!” Matamu dingin menatapnya. Seperti tak pernah
ada cinta berbinar di sana.
Hari itu masih terus
terkenang, dan terulang. Cambuk, tampar, pukul, dera, cela, umpat, berlanjut.
Dan hatimu semakin ingin berontak, namun jasadmu tetap terdiam disisinya
seperti terikat pada suatu sumpah yang tak boleh kau langgar.
Kadang orang bertanya,
untuk apa kau lakukan semua itu. Bukankah telah sekian lama ia dan perempuan
lain yang dicintainya merenggut kehidupan ceriamu? Dan kau hanya diam, hanya
air mata yang menjawab tanya mereka.
“Kau mengidap
Syndroma Stockholm!” Ujarku suatu hari, bertahun-tahun yang lalu, ketika pertama
kali kubertemu denganmu. Dan kau hanya tersenyum, meski jelas terlihat ada getir
membayang dalam senyum itu.
Hujan semakin deras.
Kau masih berjalan di setapak yang kini berlumpur. Langit berangsur memutih
setelah memuntahkan jutaan galon air dalam kantung awan yang tadi pekat
terlihat dari permukaan bumi yang kau pijak. Kau terus berjalan, entah hendak
kemana.
Tiba-tiba angin
bertiup sangat kencang. Mengusik dedahanan di tepian setapak yang kau lewati.
Kau terus berjalan. Tatap matamu kosong. Yang meleleh di pipimu itu, entah air
mata atau hujan, aku tak tahu. Kulit putihmu semakin memucat. Terlihat kau
mulai menyilangkan tanganmu di depan dada pertanda dingin telah menggerus
ketegaran yang kau pamerkan sedari tadi.
“Anissa!” Teriakku ketika
sedahan angsana jatuh hampir mengenaimu. Kau berhenti, menengok, mencari asal
suara yang memanggilmu.
Tenggorokanku
tercekat. Aku menahan nafas, sembunyikan wajahku di tepi bejana. Seperti maling
yang hampir saja ketahuan mencuri di rumah majikannya. Konyolnya, jelas-jelas
kutahu kau takkan mampu melihatku. Matamu nanar membelalak, mencari asal
suaraku. Aku terdiam dan terus memandangmu dari tempatku berada.
Aku menanti kau
mengatakan sesuatu setelah mendengar suaraku. Matamu terlihat memerah, semerah
pipimu yang terpapar dingin bercampur amarah. Namun kau kembali terdiam,
menyilangkan tanganmu di depan dada, dan berjalan. Ke arah mana, aku tak tahu.
“Sayang, kamu di
mana?” Suaranya terdengar memanggil.
“Aku sudah mencari
Anissa ke sekitar rumah, tapi tak ketemu!” Suaranya setengah berteriak. Ia ada
di ruang tamu. Langkahnya terdengar mendekat ke kamar.
“Apa kekuatan
cenayangmu betul-betul telah hilang? Sampai-sampai kau tak mampu melihat ke
mana ia pergi.”
Kalimat-kalimatnya
meluncur berganti-ganti. Aku hanya terdiam. Menutup bejana yang berisi
bayanganmu, dan mematikan lilin agar hilang mantraku. Pergilah, Anissa.
Pergilah yang jauh. Bebaskan dirimu dari belenggu cintamu. Darinya yang selama
bertahun-tahun menyiksamu. Juga dariku, perempuan lain itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar