Laman

Selasa, 21 Mei 2013

Mendung di Suatu Pagi



Lihatlah, langitpun mendung. Seperti ikut berkabung atas matinya satu cinta dalam dua hati yang lelah saling menopang di atas terjal jalan berduri. Cinta antara engkau dan dia.
Lihatlah, engkau pun lelah. Penat berjalan sekian tahun tanpa kejelasan. Digantung dalam batas jurang antara cinta dan benci yang kini semakin terlihat samar oleh kelam. Nanar matamu menatap jalanan di depan yang semakin gelap oleh pekatnya mendung. Kemudian hujan pun mulai turun. Menderas. Mengguyur hatimu yang semula telah dingin, kini membeku.
Pukul setengah sepuluh pagi, namun kau rasa seperti subuh hari. Matahari sembunyi entah ke mana. Mendung menciptakan kelam. Hatimu pun suram. Meskipun memang telah lama benda di dalam dadamu itu tak lagi disinari cinta. Diam-diam kau menyukuri turunnya hujan yang menutupi air mata yang tak berhenti meleleh di pipimu yang ranum memerah oleh hawa dingin. Kulit putihmu semakin terlihat pucat dan berkerut tergerus air.
“Umurku tak panjang, Nis. Bersabarlah sebentar.” Kalimat itu telah bertahun-tahun menemanimu. Dan kata maut yang ia lantunkan dalam setiap pintanya itu tak jua terwujud meski telah beribu kali pula kau aminkan. Dan kau semakin lelah menunggu. Dengan hati yang setiap hari disakiti. Dengan teriakan, celaan, hinaan. Hatimu semakin membenci, namun juga tak bisa berhenti mencintai.
“Biarkan aku pergi!” Katamu suatu hari.
“Tidak, aku tak bisa!” Jawabnya.
“Perlukah aku membunuhmu? Aku lelah disakiti!” Matamu dingin menatapnya. Seperti tak pernah ada cinta berbinar di sana.
Ia diam. Tak menjawabmu. Tak jua beranjak dari hadapanmu. Sampai beberapa jam kemudian ia tetap diam terduduk di depanmu yang berbaring tak bergerak di atas ranjang. Memar dan lebam di mata kirimu. Sekujur kulit putihmu ternoda beberapa bagiannya oleh luka yang ia ciptakan dalam kemarahan. Beberapa kali ia menggumamkan kata-kata yang kau tak ingin pahami maknanya. Air mata mengalir tanpa kau minta, seperti ia tak kan habis terkuras.
Hari itu masih terus terkenang, dan terulang. Cambuk, tampar, pukul, dera, cela, umpat, berlanjut. Dan hatimu semakin ingin berontak, namun jasadmu tetap terdiam disisinya seperti terikat pada suatu sumpah yang tak boleh kau langgar.
Kadang orang bertanya, untuk apa kau lakukan semua itu. Bukankah telah sekian lama ia dan perempuan lain yang dicintainya merenggut kehidupan ceriamu? Dan kau hanya diam, hanya air mata yang menjawab tanya mereka.
“Kau mengidap Syndroma Stockholm!” Ujarku suatu hari, bertahun-tahun yang lalu, ketika pertama kali kubertemu denganmu. Dan kau hanya tersenyum, meski jelas terlihat ada getir membayang dalam senyum itu.
Hujan semakin deras. Kau masih berjalan di setapak yang kini berlumpur. Langit berangsur memutih setelah memuntahkan jutaan galon air dalam kantung awan yang tadi pekat terlihat dari permukaan bumi yang kau pijak. Kau terus berjalan, entah hendak kemana.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Mengusik dedahanan di tepian setapak yang kau lewati. Kau terus berjalan. Tatap matamu kosong. Yang meleleh di pipimu itu, entah air mata atau hujan, aku tak tahu. Kulit putihmu semakin memucat. Terlihat kau mulai menyilangkan tanganmu di depan dada pertanda dingin telah menggerus ketegaran yang kau pamerkan sedari tadi.
“Anissa!” Teriakku ketika sedahan angsana jatuh hampir mengenaimu. Kau berhenti, menengok, mencari asal suara yang memanggilmu.
Tenggorokanku tercekat. Aku menahan nafas, sembunyikan wajahku di tepi bejana. Seperti maling yang hampir saja ketahuan mencuri di rumah majikannya. Konyolnya, jelas-jelas kutahu kau takkan mampu melihatku. Matamu nanar membelalak, mencari asal suaraku. Aku terdiam dan terus memandangmu dari tempatku berada.
Aku menanti kau mengatakan sesuatu setelah mendengar suaraku. Matamu terlihat memerah, semerah pipimu yang terpapar dingin bercampur amarah. Namun kau kembali terdiam, menyilangkan tanganmu di depan dada, dan berjalan. Ke arah mana, aku tak tahu.
“Sayang, kamu di mana?” Suaranya terdengar memanggil.
“Aku sudah mencari Anissa ke sekitar rumah, tapi tak ketemu!” Suaranya setengah berteriak. Ia ada di ruang tamu. Langkahnya terdengar mendekat ke kamar.
      “Sialan! Ia benar-benar membuatku kesal. Beraninya ia melarikan diri. Dasar perempuan tak tahu diuntung. Sudah berbaik hati aku masih menampungnya di sini. Kalau aku mau, sudah bertahun-tahun yang lalu kuceraikan dan kuusir perempuan cengeng sialan itu!”
“Apa kekuatan cenayangmu betul-betul telah hilang? Sampai-sampai kau tak mampu melihat ke mana ia pergi.”
Kalimat-kalimatnya meluncur berganti-ganti. Aku hanya terdiam. Menutup bejana yang berisi bayanganmu, dan mematikan lilin agar hilang mantraku. Pergilah, Anissa. Pergilah yang jauh. Bebaskan dirimu dari belenggu cintamu. Darinya yang selama bertahun-tahun menyiksamu. Juga dariku, perempuan lain itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar