“Pada akhirnya; kau akan memahami
bahwa ada hati yang tak dapat dimiliki, sekeras apapun mencoba mengejarnya. Dan
ada hati yang sekuat tenaga ingin kau singkirkan dan sakiti, namun ia tak jua
pergi dari hidup kita. Itulah yang dinamakan jodoh. Ia hadir dalam bentuk yang
kadang tidak kau inginkan. Tapi percayalah, ialah sebaik-baik yang dikirimkan
Tuhan bagi hidup dan matimu. Titah yang harus kau jalani. Sepenuh jiwa raga.”
“Berhentilah meracau!” Bentakku.
Wanita itu menoleh ke arahku. Namanya Puri
Merpati. Ia gila, setidaknya begitulah kata orang. Mereka bilang ia dahulu
seorang bintang panggung. Seorang pemain ketoprak idola banyak lelaki.Ia bak
putri yang dipuja. Lalu menikah dengan seorang pangeran tampan kaya raya. Namun
lelaki itu ternyata hanya membuatnya sakit hati dan gila.
Ia tinggal di bilik kecil di belakang
rumahku. Entah sejak kapan.
“Makanlah, kusuapi.” Kataku, datar,
seperti biasa.
Ia tersenyum, tapi tampak seperti
menyeringai bagiku. Kupandang wajahnya, masih pucat bak vampire. Matanya pun
masih selayu kemarin, bibirnya kering seperti telah bertahun-tahun tak
menyentuh air.
Ia kembali berpuisi, mengulangi
kata-katanya tadi. Pelan-pelan kusuapkan nasi berlauk ikan bawal goreng ke
mulutnya. Kadang kurasa ia tak gila. Kata-katanya tak pernah hadir tanpa makna
bagiku. Ia seperti sangat memahami kegundahanku. Termasuk kegelisahanku karena
Hanun menolak lamaranku.
“Ba... Gus...” Ia mengeja namaku. Aku
memandangnya. Mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Makanlah saja.” Ujarku. Aku tak ingin mendengar kata-katanya lagi.
Sudah cukup buatku melihatnya terengah bersuara.
Nafasnya selalu terlihat tersengal
saat berbicara. Mungkin ia mengidap penyakit paru atau sejenisnya. Atau bisa
juga itu akibat kebiasaan tidurnya yang sangat sedikit. Selama ia tinggal di belakang
rumahku, sejauh yang kuingat, hanya sekitar dua-tiga jam tak terdengar
aktivitas dari bilik kecil di sebelah gudang itu, yang bermakna ia sedang tidur.
Aku segera keluar dari bilik itu
setelah selesai memberinya makan dan membersihkan badannya. “Kau sudah selesai?”
Tanya ayah yang telah menunggu di teras samping rumah. Dua cangkir kopi,
sekaleng biskuit, dan koran di atas meja. Aku hanya mengangguk seraya
mendekatinya.
“Kau tak kan bisa menikah bila ia
terus ada di sini.” Kalimat Ayah terasa dingin. Kontras dengan kopi panas yang baru
saja mengaliri tenggorokanku.
“Aku akan terus mengurusnya walaupun semua
gadis yang kucintai tak dapat menerimanya.” Kataku. Air mataku nyaris mengalir.
“Kau terlalu peduli padanya.” Ujar
Ayah, masih sedingin sebelumnya.
Terang saja, kata hatiku. Karena ia
adalah ibuku.
keren.... suka banget
BalasHapusterima kasih Bu Guru.... ^_^
HapusKeren abis Mba
BalasHapusTerima kasih sudah mampir dan menyempatkan membaca coretan saya... ^_^
Hapuswowww cetarrr!
BalasHapusAh, masa siiihhhh?? hihihi.. Teh Ais kaya Syahrini
Hapus<3
BalasHapusterima kasih... ^_^
Hapusiki berarti ibunya nikah 2x? hehe
BalasHapusnggak ah. si ayah itu ya yang dimaksud suami yang nyakitin dan bikin gila itu. menyakiti bukan berarti meninggalkan loooo. ^_^
Hapusbagus mbak ceritanya kok.
BalasHapusblognya juga kece.
salam kenal yooo
Salam kenal juga Mbak.... Terima kasih... ^_^
HapusCeritanya bagus. Kunjungan pertama nih mak :)
BalasHapusTerima kasih Mak Mira... Kapan-kapan mampir lagi yaaa.... ;-)
Hapus