Laman

Senin, 27 Mei 2013

PURI MERPATI


“Pada akhirnya; kau akan memahami bahwa ada hati yang tak dapat dimiliki, sekeras apapun mencoba mengejarnya. Dan ada hati yang sekuat tenaga ingin kau singkirkan dan sakiti, namun ia tak jua pergi dari hidup kita. Itulah yang dinamakan jodoh. Ia hadir dalam bentuk yang kadang tidak kau inginkan. Tapi percayalah, ialah sebaik-baik yang dikirimkan Tuhan bagi hidup dan matimu. Titah yang harus kau jalani. Sepenuh jiwa raga.”
“Berhentilah meracau!” Bentakku.
Wanita itu menoleh ke arahku. Namanya Puri Merpati. Ia gila, setidaknya begitulah kata orang. Mereka bilang ia dahulu seorang bintang panggung. Seorang pemain ketoprak idola banyak lelaki.Ia bak putri yang dipuja. Lalu menikah dengan seorang pangeran tampan kaya raya. Namun lelaki itu ternyata hanya membuatnya sakit hati dan gila.
Ia tinggal di bilik kecil di belakang rumahku. Entah sejak kapan.
“Makanlah, kusuapi.” Kataku, datar, seperti biasa.
Ia tersenyum, tapi tampak seperti menyeringai bagiku. Kupandang wajahnya, masih pucat bak vampire. Matanya pun masih selayu kemarin, bibirnya kering seperti telah bertahun-tahun tak menyentuh air.
Ia kembali berpuisi, mengulangi kata-katanya tadi. Pelan-pelan kusuapkan nasi berlauk ikan bawal goreng ke mulutnya. Kadang kurasa ia tak gila. Kata-katanya tak pernah hadir tanpa makna bagiku. Ia seperti sangat memahami kegundahanku. Termasuk kegelisahanku karena Hanun menolak lamaranku.
“Ba... Gus...” Ia mengeja namaku. Aku memandangnya. Mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Makanlah saja.” Ujarku.  Aku tak ingin mendengar kata-katanya lagi. Sudah cukup buatku melihatnya terengah bersuara.
Nafasnya selalu terlihat tersengal saat berbicara. Mungkin ia mengidap penyakit paru atau sejenisnya. Atau bisa juga itu akibat kebiasaan tidurnya yang sangat sedikit. Selama ia tinggal di belakang rumahku, sejauh yang kuingat, hanya sekitar dua-tiga jam tak terdengar aktivitas dari bilik kecil di sebelah gudang itu, yang bermakna ia sedang tidur.
Aku segera keluar dari bilik itu setelah selesai memberinya makan dan membersihkan badannya. “Kau sudah selesai?” Tanya ayah yang telah menunggu di teras samping rumah. Dua cangkir kopi, sekaleng biskuit, dan koran di atas meja. Aku hanya mengangguk seraya mendekatinya.
“Kau tak kan bisa menikah bila ia terus ada di sini.” Kalimat Ayah terasa dingin. Kontras dengan kopi panas yang baru saja mengaliri tenggorokanku.
“Aku akan terus mengurusnya walaupun semua gadis yang kucintai tak dapat menerimanya.” Kataku. Air mataku nyaris mengalir.
“Kau terlalu peduli padanya.” Ujar Ayah, masih sedingin sebelumnya.
Terang saja, kata hatiku. Karena ia adalah ibuku.

14 komentar:

  1. Keren abis Mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir dan menyempatkan membaca coretan saya... ^_^

      Hapus
  2. Balasan
    1. Ah, masa siiihhhh?? hihihi.. Teh Ais kaya Syahrini

      Hapus
  3. iki berarti ibunya nikah 2x? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak ah. si ayah itu ya yang dimaksud suami yang nyakitin dan bikin gila itu. menyakiti bukan berarti meninggalkan loooo. ^_^

      Hapus
  4. bagus mbak ceritanya kok.
    blognya juga kece.
    salam kenal yooo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga Mbak.... Terima kasih... ^_^

      Hapus
  5. Ceritanya bagus. Kunjungan pertama nih mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mak Mira... Kapan-kapan mampir lagi yaaa.... ;-)

      Hapus