Laman

Rabu, 20 Maret 2013

BADAI




Aku menyebut namanya Badai. Secara tak sengaja aku mengenalnya pada hidupku sedang melewati masa-masa kelam selepas kecewaku ditinggalkan orang yang paling kusayang. Dia adalah sahabat temanku. Namanya? Ah, aku tak ingin mengingat nama itu. Kini aku hanya menyebutnya Badai.


Ketika aku sedang kesepian karena diacuhkan, dia menemaniku, walau sering hanya lewat telepon dan sms. Ketika aku merasa direndahkan, ia menyanjungku hingga aku melayang seperti merpati di angkasa. Ia membuatku bahagia. Dan aku mulai mencuri-curi waktu menemuinya. Menepis laraku bersama sejuk candanya. Aku bahagia.


Ia datang seperti angin, menawarkan awan putih di langit yang terik. Kemudian awan bergulung-gulung mejadi kelabu. Dan gerimis pun membasahi jiwa yang kerontang. Aku terlena. Menenggelamkan tubuh dan jiwaku dalam hujan yang kurasa sejuk memuaskan dahaga cintaku. Tetapi semakin lama semakin dingin, hujan semakin deras, terlalu deras. Laku jadilah ia Badai.


Ia mengoyak hidupku menjadi keping-keping yang kini kusesali. Badai itu telah berlalu kini. Meninggalkan aku di tepi jurang hancurku yang menganga. Aku sendirian mengais puing-puing hidupku yang diporak-porandakannya. Sudah terlambat. Sudah tak bisa lagi jadi utuh. Tinggal dendam yang tersisa. Sakit. Parah. Tubuh dan jiwaku penuh dengan luka. Tak dapat lagi diobati.


Lukaku membusuk bersama perginya dari hidupku. Ia tak sudi lagi menolongku. Menengok pun tidak. Ia tak hanya berpaling kini. Ia telah pergi dan tak mungkin kembali. Sesal. Sudah terlambat untuk menyesal. Maka kupelihara kesumatku. Kukumpulkan segala daya untuk berdiri. Mengobati lukaku sendiri. Tertawa lebar dan berkata, “Lihatlah, aku bisa bangkit lagi! Kau, tunggulah hancurmu menyusulku!”


Bertahun sudah aku menyusun strategi. Dan hari ini kuputuskan untuk melampiaskan kesumatku. Ditengah rinai hujan yang terasa menggigit ke dalam belulangku yang merapuh. Kudatangi lubang persembunyiannya. Sebuah kota yang tak ingin kudengar namanya, tapi kini kutuju.


Kota kecil itu ditepi pantai, aku memulai pencarianku ke tepi pantai, tempat di mana ia melarungkan dukaku dahulu, menggantinya dengan cinta semu yang melenakanku. Tak ada.


Lalu aku menuju pelelangan ikan, nihil. Aku beranjak ke pasar, kemudian memberanikan diri bertanya pada sekelompok tetua yang duduk melingkar bersila di sebelah masjid di pinggir alun-alun kota. sedikit petunjuk kudapat. “Ia berada di atas bukit,” kata seorang lelaki tua.


Aku segera berlari ke bukit, menghunus belati yang telah kusiapkan jauh-jauh hari. Telah kutorehkan racun paling mematikan di ujung belatiku. Di atas bukit ada sebuah gubuk. Aku mengendap-endap mendekati gubuk. Kudengar suara bayi menangis, hatiku ragu. Mungkinkah ini tempatnya bersembunyi? Aku mendekat lagi.


“Berbuatlah sesutu, Kak. Jangan hanya diam. Tak hanya engkau yang butuh hidup. Anakmu juga butuh masa depan.” Suara wanita itu parau menyimpan luka dan benci.


Tak ada jawaban.


Aku mendekatkan wajahku ke dinding bambu yang anyamannya sudah koyak di beberapa bagian. Kupicingkan mataku. Remang-remang terlihat seorang wanita menggendong bayi yang sedang menangis. Tangan kanannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam sebuah tas besar. Suaranya timbul tenggelam bersama tangis bayi yang digendongnya.


Ia terlihat melemparkan sesuatu kedepan. Aku tak melihat orang lain di sana. Hatiku semakin ragu. Benarkah ia berada disini?


“Pergilah ke gubuk di atas bukit. Ia ada di sana. Kau tak kan salah. Tak ada gubuk lain di sana.” Suara lelaki tua yang kutemui di masjid itu berngiang. Benar, tak ada gubuk lain di bukit itu. Atau mungkin aku salah mendaki?


Kuputar pandanganku pada perbukitan di sekitarku. Tak ada satupun bukit yang terlihat berpenghuni. Semua meranggas. Pohon-pohon dan rumput-rumput kering menyelimutkan warna kecoklatan pada tanah perbukitan yang berkapur. Maka aku kembali yakin aku tak salah. Tetapi....


Aku terhenyak dan seketika berlari ke belakang gubuk saat pintu terbuka. Dari balik dinding kudongakkan sedikit kepalaku. Seorang wanita muda berpakaian nyaris kumal, menggendong bayi yang tak henti menangis. Mulutnya berkata-kata tak jelas. Bersahut-sahutan dengan tangis bayinya yang semakin keras. Tas besar yang sudah lusuh ditenteng di tangan kanan. Ia berjalan terseok menuruni bukit. Menghilang di balik ilalang yang menguning.


Ragu. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu yang terbuka sedikit. Dari luar tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Kudorong pintu pelan-pelan dengan kaki kananku. Mataku terbelalak melihat tubuh yang membujur di atas tikar di lantai. Jasad itu tak bergerak, hanya matanya yang berputar menatapku menandakan ia masih bernyawa. Diakah? Ah, bukan. Lalu siapa?


Aku mendekat. Remang cahaya di dalam gubuk terlampau samar jatuh di wajah itu. Terlihat renta dan layu. Wajahnya kurus mengeriput. Garis-garis tulang rahangnya masih kukenali. Bekas luka di lututnya juga masih kuingat. Menandakan bahwa aku tak salah lihat. Tapi hatiku masih saja tak percaya.


Aku terduduk di sebuah bangku yang goyah saat kudaratkan pantatku diatasnya. Mataku nanar menatap tubuh yang tergeletak di depanku. Belati yang kusiapkan untuk menghujam jantungnya yang pernah berdenyut di atas dadaku, jatuh sudah.


Aku linglung. Kepalaku pening. Aku menatap sosok itu lekat-lekat. Ia terbujur di atas tikar. Mulutnya menganga seperti hendak mengatakan sesuatu. Tetes demi tetes air membasahi sudut matanya yang cekung. Aku ingin bertanya mengapa ia di sana. Ada dorongan untuk meraihnya,  mengusap air mata. Atau memapahnya duduk. Tapi dendamku? Bagaimana dengan dendamku? Bagaimana dengan pembalasan atas kekejamannya di masa laluku?


Jantungku berdegub lebih keras. Perang dalam batinku. Aku berteriak sekeras mungkin. Berlari sekencang mungkin. Aku tak ingin kembali. Aku tak ingin melihatnya lagi. Kuturuni bukit dengan dada sesak dan sedu sedan. Kuserempet begitu saja wanita muda yang menggendong bayinya. Ia berteriak. Aku tak peduli. Aku terus berlari. Tak tahu hendak ke mana. Sampai hari gelap.


Adzan menghentikan langkahku di depan masjid. Para tetua yang pagi tadi kutemui telah duduk berjajar menggelar sajadah. Sembentuk barisan jihad fi sabilillah. Mengangkat tangan bertakbir. Aku tergugu. Kusentuh lagi air wudhu yang telah lama kutinggalkan. Kuguyurkan. Kubasahi tangisku. Kuusap galau jiwaku. Sejuk. Sejenak kemudian aku tenggelam dalam sujud. Kuadukan segala dendamku pada Sang Pemilik Jiwa.


*********************


Suaranya parau tercekat. Ia melenguh pada setiap gerakan yang menyentuh belulangnya yang terbungkus kulit keriput yang nyaris mengelupas tergerus tikar. Seorang perawat dan kakek tua yang kutemui di masjid membantuku memandikannya. Entah telah beribu kali aku mendesah menenangkan perang dalam batinku. Aku terduduk di tepi ranjang. Memandangnya sekali lagi. Iakah? Benarkah? Tidak, lelaki di hadapanku ini bukan dia. Ia hanya jasad. Segala kesumatku luruh dalam lelehan air matanya yang menghiba. Cekungan matanya yang menghitam telah cukup menceritakan segala derita yang ia terima bertahun-tahun ini. Cukup sudah. Tuhan telah mengambil bagianNya, memenuhi janjiNya untuk mengabulkan doa orang-orang yang terdhalimi.
 
Dulu aku memanggilnya Badai. Dengan segala kebencian dalam hatiku yang telah dihancurkannya. Kukumpulkan satu demi satu kepingan jiwaku kini. Kulekatkan dalam bingkai yang dulu tak pernah kubayangkan. “Percayalah, ia jalanmu ke surga.” Ucap kakek tua yang kutemui di masjid itu. Air mataku meleleh tak terbendung. Terngiang lagi sebuah ayat yang ia bacakan selepas maghrib di masjid. “Balaslah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.” (Q. S. Al-Mu’minun/23: 96).

Kamis, 14 Maret 2013

Lomba Menulis “Kisah Sang Mantan”

Yang suka nulis plus punya kenangan spesial tentang sang mantan...... Baik, buruk, manis, pahit, getir..... Monggo sami ndherekaken...... ^_^

Lomba Menulis “Kisah Sang Mantan”

Rabu, 13 Maret 2013

Perempuan-Perempuan Hebat Itu.... Inspirasiku. (1)

Tentang Ma'e

Aku rindu Ma'e. Sungguh sangat rindu. Sudah satu setengah tahun kini, tak bisa lagi mendengar Ma'e memarahiku saat terlalu sibuk dengan handphone dan kurang mengawasi si kecil Alfan. Tak bisa lagi menuntun Ma'e saat hendak ke kamar mandi atau ke luar rumah. Tak dapat lagi menyuapi Ma'e bila makan, dengan bonus omelan kalau suapannya terlalu besar atau kurang kuah. Rindu membantu Ma'e ketika hendak buang hajat. Kangen memijit badan Ma'e yang sering terasa pegal, dengan hadiah marah bila terlalu kuat memijit. Ma'e lebih suka pijitan yang setengah mengelus, karena cairan di bawah kulitnya membuat badan Ma'e terasa sakit saat dipijit agak kuat.

Aku rindu Ma'e. Rindu petuah-petuah Ma'e yang kini hanya bisa kuingat. Rindu melayani Ma'e yang kini hanya bisa kusesali karena dulu kurang berbakti. Rindu menyenangkan Ma'e yang kini hanya bisa kuhadiahkan lewat doa yang ku tak tahu terkabul atau tidak karena tumpukan dosaku. Aku rindu memapah Ma'e ke kursi di depan rumah untuk berjemur, lalu mengelus kakinya yang bengkak. Aku rindu nafas dan keringat Ma'e yang berbau amonia. Aku rindu merawat luka di kaki Ma'e, yang seringkali berbonus erangan dan omelan lirih dari bibirnya yang syahdu. Aku rindu, sangat rindu.

Masih kuat dalam ingatan, Ma'e semasa sehat adalah seorang perempuan tangguh yang tak pernah sekalipun mengeluhkan uang pada Bapak. Ma'e mendampingi Bapak selama tiga puluh tahun tanpa protes. Membantu Bapak berdagang Apapun yang ada di tangan Ma'e jadi uang. Menjahit, membordir, memasak, membuat roti dan kue, mengatur keuangan, mengurusi anak-anak, berdagang, belanja dagangan di Pasar Turi, Pasar Klewer, ke Jakarta, Surabaya, Solo, kemanapun sendiri. Dan pulang dengan berkarung-karung barang dagangan, menemui suami dan anak-anaknya di yang telah menunggu di tepi jalan raya dengan senyum di wajah lelahnya. Melayani Bapak dan kami anak-anaknya di rumah seolah beliau tak capek bekerja setelah bepergian jauh.

Ma'e adalah ibu, koki, perawat dan pendamping orang-orang sakit, pedagang, penjahit, organisator pengajian, aktivis fatayat dan muslimat NU,segalanya bagi suami, anak-anak dan lingkungannya. "Hiduplah dengan menebar manfaat, semoga singkatnya umur kita  jadi jembatan menuju surga," kalimat itu senantiasa terpatri dalam hati kami, anak-anak Ma'e. Entah mampu atau tidak diri ini menjadi sepertinya; Ma'e yang berdagang apa saja (mulai dari makanan, sembako, pakaian, alat-alat rumah tangga, hingga alat-alat jahit), mengasuh anak-anak tanpa pembantu, menjahit, aktif dalam beberapa pengajian putri, PKK, dan dua organisasi kewanitaan NU, hingga menjadi pendamping dan perawat bagi orang-orang yang sakit, --dengan sukarela tanpa dibayar--, tetapi tak sedikitpun melalaikan kewajibannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Semoga saja bisa menjadi setangguh beliau. :-)

Ma'e adalah perempuan perkasa yang kukenal sejak lahir. Tiada duanya, dan tiada gantinya bagiku. Aku belum pernah mendengar beliau mengeluhkan kepala pusing, badan sakit atau pegal, sampai menjelang akhir hayatnya ketika uremic dan cairan ginjalnya menyebar ke seluruh tubuh, memenuhi parunya, menyesakkan nafasnya, menghajar setiap sendi tulangnya. Saat itulah beliau baru mulai mengeluh, seperti memberi sinyal pada kami anak-anaknya untuk lebih berbakti sebelum terlambat beliau pergi.

Sampai saat terakhir menjelang wafatnya, beliau tidak pernah meninggalkan sholat. Isya itu terakhir kali beliau melaksanakan kewajibannya menyembah Rabbnya dengan sholat telentang di atas tempat tidur, infus di tangan, selang oksigen terpasang di hidung. Dzikirnya tak putus sampai nyawa tercabut dari raga. Ma'e, khusnul khotimah fainsyaallah alaiki.

Andai masih bisa, aku ingin mencium kakinya memohon maafnya atas semua salah dan dosaku padanya. Atas ketidak baktianku padanya. Atas banyak salah dan dosaku padanya. Tapi kini tak bisa lagi. Hanya taubat dan sujudku pada Ilahi Rabbi, semoga dosa-dosaku padamu, dan padaNya masih diampuni. :'-(
Ma'e.... Kapan kita bisa bertemu lagi? Meski hanya dalam mimpi. Anakmu rindu sekali.

Rembulanku
Aku mencari sinarmu kini
Saat pelita yang kubawa terlampau redup untuk menerangi jalanku
Rembulanku
Sinar mentari terlampau terik membakar kulitku
Aku merindukan malam-malam bersamamu
Rembulanku
Andai kau masih bisa kembali
Akan kutambatkan lembut cahayamu dalam hati terdalam
Agar damai hidup kutempuh
Agar jalanku tak lagi kelam
Rembulanku
Aku merindukamu

Teriring doa untukmu, Bunda.
اللهم أغفر لها وارحمها و عافها و ا عفو عنها

in memoriam المرحومة Ibundaku Sunarti, 14 April 1962 - 29 Oktober 2011