Aku menyebut namanya Badai. Secara tak sengaja aku mengenalnya pada hidupku
sedang melewati masa-masa kelam selepas kecewaku ditinggalkan orang yang paling
kusayang. Dia adalah sahabat temanku. Namanya? Ah, aku tak ingin mengingat nama
itu. Kini aku hanya menyebutnya Badai.
Ketika aku sedang kesepian karena diacuhkan, dia menemaniku, walau sering hanya
lewat telepon dan sms. Ketika aku merasa direndahkan, ia menyanjungku hingga
aku melayang seperti merpati di angkasa. Ia membuatku bahagia. Dan aku mulai
mencuri-curi waktu menemuinya. Menepis laraku bersama sejuk candanya. Aku
bahagia.
Ia datang seperti angin, menawarkan awan putih di langit yang terik.
Kemudian awan bergulung-gulung mejadi kelabu. Dan gerimis pun membasahi jiwa
yang kerontang. Aku terlena. Menenggelamkan tubuh dan jiwaku dalam hujan yang
kurasa sejuk memuaskan dahaga cintaku. Tetapi semakin lama semakin dingin,
hujan semakin deras, terlalu deras. Laku jadilah ia Badai.
Ia mengoyak hidupku menjadi keping-keping yang kini kusesali. Badai itu
telah berlalu kini. Meninggalkan aku di tepi jurang hancurku yang menganga. Aku
sendirian mengais puing-puing hidupku yang diporak-porandakannya. Sudah
terlambat. Sudah tak bisa lagi jadi utuh. Tinggal dendam yang tersisa. Sakit.
Parah. Tubuh dan jiwaku penuh dengan luka. Tak dapat lagi diobati.
Lukaku membusuk bersama perginya dari hidupku. Ia tak sudi lagi menolongku.
Menengok pun tidak. Ia tak hanya berpaling kini. Ia telah pergi dan tak mungkin
kembali. Sesal. Sudah terlambat untuk menyesal. Maka kupelihara kesumatku.
Kukumpulkan segala daya untuk berdiri. Mengobati lukaku sendiri. Tertawa lebar
dan berkata, “Lihatlah, aku bisa bangkit lagi! Kau, tunggulah hancurmu
menyusulku!”
Bertahun sudah aku menyusun strategi. Dan hari ini kuputuskan untuk
melampiaskan kesumatku. Ditengah rinai hujan yang terasa menggigit ke dalam
belulangku yang merapuh. Kudatangi lubang persembunyiannya. Sebuah kota yang
tak ingin kudengar namanya, tapi kini kutuju.
Kota kecil itu ditepi pantai, aku memulai pencarianku ke tepi pantai,
tempat di mana ia melarungkan dukaku dahulu, menggantinya dengan cinta semu
yang melenakanku. Tak ada.
Lalu aku menuju pelelangan ikan, nihil. Aku beranjak ke pasar, kemudian
memberanikan diri bertanya pada sekelompok tetua yang duduk melingkar bersila
di sebelah masjid di pinggir alun-alun kota. sedikit petunjuk kudapat. “Ia
berada di atas bukit,” kata seorang lelaki tua.
Aku segera berlari ke bukit, menghunus belati yang telah kusiapkan
jauh-jauh hari. Telah kutorehkan racun paling mematikan di ujung belatiku. Di
atas bukit ada sebuah gubuk. Aku mengendap-endap mendekati gubuk. Kudengar
suara bayi menangis, hatiku ragu. Mungkinkah ini tempatnya bersembunyi? Aku
mendekat lagi.
“Berbuatlah sesutu, Kak. Jangan hanya diam. Tak hanya engkau yang butuh hidup.
Anakmu juga butuh masa depan.” Suara wanita itu parau menyimpan luka dan benci.
Tak ada jawaban.
Aku mendekatkan wajahku ke dinding bambu yang anyamannya sudah koyak di
beberapa bagian. Kupicingkan mataku. Remang-remang terlihat seorang wanita
menggendong bayi yang sedang menangis. Tangan kanannya sibuk memasukkan pakaian
ke dalam sebuah tas besar. Suaranya timbul tenggelam bersama tangis bayi yang
digendongnya.
Ia terlihat melemparkan sesuatu kedepan. Aku tak melihat orang lain di
sana. Hatiku semakin ragu. Benarkah ia berada disini?
“Pergilah ke gubuk di atas bukit. Ia ada di sana. Kau tak kan salah. Tak
ada gubuk lain di sana.” Suara lelaki tua yang kutemui di masjid itu berngiang.
Benar, tak ada gubuk lain di bukit itu. Atau mungkin aku salah mendaki?
Kuputar pandanganku pada perbukitan di sekitarku. Tak ada satupun bukit
yang terlihat berpenghuni. Semua meranggas. Pohon-pohon dan rumput-rumput kering
menyelimutkan warna kecoklatan pada tanah perbukitan yang berkapur. Maka aku
kembali yakin aku tak salah. Tetapi....
Aku terhenyak dan seketika berlari ke belakang gubuk saat pintu terbuka.
Dari balik dinding kudongakkan sedikit kepalaku. Seorang wanita muda berpakaian
nyaris kumal, menggendong bayi yang tak henti menangis. Mulutnya berkata-kata
tak jelas. Bersahut-sahutan dengan tangis bayinya yang semakin keras. Tas besar
yang sudah lusuh ditenteng di tangan kanan. Ia berjalan terseok menuruni bukit.
Menghilang di balik ilalang yang menguning.
Ragu. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu yang terbuka sedikit. Dari luar
tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Kudorong pintu pelan-pelan dengan kaki
kananku. Mataku terbelalak melihat tubuh yang membujur di atas tikar di lantai.
Jasad itu tak bergerak, hanya matanya yang berputar menatapku menandakan ia
masih bernyawa. Diakah? Ah, bukan. Lalu siapa?
Aku mendekat. Remang cahaya di dalam gubuk terlampau samar jatuh di wajah
itu. Terlihat renta dan layu. Wajahnya kurus mengeriput. Garis-garis tulang
rahangnya masih kukenali. Bekas luka di lututnya juga masih kuingat. Menandakan
bahwa aku tak salah lihat. Tapi hatiku masih saja tak percaya.
Aku terduduk di sebuah bangku yang goyah saat kudaratkan pantatku
diatasnya. Mataku nanar menatap tubuh yang tergeletak di depanku. Belati yang
kusiapkan untuk menghujam jantungnya yang pernah berdenyut di atas dadaku, jatuh
sudah.
Aku linglung. Kepalaku pening. Aku menatap sosok itu lekat-lekat. Ia terbujur di atas tikar. Mulutnya
menganga seperti hendak mengatakan sesuatu. Tetes demi tetes air membasahi sudut
matanya yang cekung. Aku ingin bertanya mengapa ia di sana. Ada dorongan untuk
meraihnya, mengusap air mata. Atau memapahnya duduk. Tapi dendamku?
Bagaimana dengan dendamku? Bagaimana dengan pembalasan atas kekejamannya di masa laluku?
Jantungku berdegub lebih keras. Perang dalam batinku. Aku berteriak sekeras mungkin. Berlari sekencang
mungkin. Aku tak ingin kembali. Aku tak ingin melihatnya lagi. Kuturuni bukit
dengan dada sesak dan sedu sedan. Kuserempet begitu saja wanita muda yang
menggendong bayinya. Ia berteriak. Aku tak peduli. Aku terus berlari. Tak tahu
hendak ke mana. Sampai hari gelap.
Adzan menghentikan langkahku di depan masjid. Para tetua yang pagi tadi
kutemui telah duduk berjajar menggelar sajadah. Sembentuk barisan jihad fi
sabilillah. Mengangkat tangan bertakbir. Aku tergugu. Kusentuh lagi air wudhu
yang telah lama kutinggalkan. Kuguyurkan. Kubasahi tangisku. Kuusap galau
jiwaku. Sejuk. Sejenak kemudian aku tenggelam dalam sujud. Kuadukan segala
dendamku pada Sang Pemilik Jiwa.
*********************
Suaranya parau tercekat. Ia melenguh pada setiap gerakan yang menyentuh
belulangnya yang terbungkus kulit keriput yang nyaris mengelupas tergerus tikar.
Seorang perawat dan kakek tua yang kutemui di masjid membantuku memandikannya.
Entah telah beribu kali aku mendesah menenangkan perang dalam batinku. Aku
terduduk di tepi ranjang. Memandangnya sekali lagi. Iakah? Benarkah? Tidak,
lelaki di hadapanku ini bukan dia. Ia hanya jasad. Segala kesumatku luruh dalam
lelehan air matanya yang menghiba. Cekungan matanya yang menghitam telah cukup
menceritakan segala derita yang ia terima bertahun-tahun ini. Cukup sudah. Tuhan telah mengambil bagianNya, memenuhi janjiNya untuk mengabulkan doa orang-orang yang terdhalimi.
Dulu aku memanggilnya Badai. Dengan segala kebencian
dalam hatiku yang telah dihancurkannya. Kukumpulkan satu demi satu kepingan
jiwaku kini. Kulekatkan dalam bingkai yang dulu tak pernah kubayangkan. “Percayalah,
ia jalanmu ke surga.” Ucap kakek tua yang kutemui di masjid itu. Air mataku
meleleh tak terbendung. Terngiang lagi sebuah ayat yang ia bacakan selepas
maghrib di masjid. “Balaslah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik.
Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.” (Q. S. Al-Mu’minun/23: 96).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar