Laman

Sabtu, 03 Agustus 2013

Ramadan Ini

Dulu
Semasa aku masih belajar mengeja huruf dan angka
Hanya ada satu dua rumah di kampungku yang punya televisi
Hanya ada satu stasiun yang dinikmati
Tak ada acara pembangun sahur dan pengantar berbuka
Namun Ramadan sungguh khidmat terasa

Bila menjelang saat berbuka
Anak-anak kecil ramai mengaji
Menantikan adzan dalam untai doa dan abata yang terbata
Sungguh nikmat ketika maghrib menjelang

Bila waktu tarawih tiba
Berjejal-jejal kami dalam sempitnya ruang musolla
Gemerutuk bunyi dengkul dan kaki silih berganti
Mengikuti gerak imam di depan kami
Musolla hanya separo lapangan volley
Tapi tak pernah sepi setiap hari

Bila tarawih usai
Yang terdengar hanya gaung tadarus
Di corong toa kecil yang hanya terdengar beberapa ratus meter saja
Suara yang lengking jadi serak karena toa musolla sudah tua
Hingga tengah malam masih terdengar remaja-remaja bergantian membaca Alquran
Aduhai tentramnya

Lalu ramai-ramai kami pulang
Mengambil bekal sahur seadanya
Kemudian kembali ke musolla
Tak lupa sarung dan bantal dibawa serta
Ya... Kami tidur di musolla
Besar - kecil
Kanak - remaja
Walau tak pernah benar-benar lelap tertidur di sana
Karena terlalu girang hendak berkeliling membangunkan sahur

Dan ketika waktunya tiba
Beramai-ramai kami beriring
Memukul kentongan dan apa saja
Membangunkan seisi kampung di sekitar musolla
Membawa obor dari bambu atau pelepah pepaya
Sungguh asyik rasanya

Selepas Subuh
Kami mengaji di bawah temaram lampu petromax
Karena listrik diesel hanya menyala sampai jam 12 malam saja
Mengaji sampai matahari nampak di cakrawala
Ah... Betapa syahdunya

Ramadan ini
Tahun ke sekian kami menikmati indahnya teknologi
Malam terang benderang
Musolla kami telah beberapa kali direnovasi
Kini jadi seluas dua lapangan volley
Toa musolla kami kini besar dan lantang
Kampung kami ramai oleh suara televisi
Dan deru motor silih berganti
Masjid desa pun bertingkat dua
Besar dan indah bangunannya
Seperti puri seribu satu malam saja

Mirisnya
Semakin lama
Semakin sepi masjid dan musolla kami
Apalagi di sepuluh hari terakhir Ramadan
Barisan tarawih tinggal dua tiga saf jarang-jarang
Masih untung tak menuruti imam yang perintahkan rapatkan barisan
Bila menurut
Barisan pun semakin mengkerut

Semakin sepi amil zakat dari para dermawan
Karena orang kaya lebih suka membagi zakat mal di depan rumah mewah mereka
Dalam sorotan kamera dan publikasi media
Tak urus berapa korban masuk rumak sakit
Bahkan adayang sampai meninggal terjepit
Semakin ramai berita
Semakin untung karena bisa terkenal
Dengan menyantuni keluarga yang ditinggalkan si korban

Bila waktu sahur dan berbuka
Ramai-ramai keluarga
Menghadap televisi di rumahnya
Tergelak bersama para pelawak
Menyaksikan goyang dan jargon ciptaan mereka
Beberapa mencibir dan berkata:
"Bulan Ramadan kok diajak guyonan dan ikut undian"
Tapi tetap tak pindah saluran
Karena diam-diam mengirim sms ke tujuh dua sekian sekian


Katanya
Ini pertanda
Semakin makmur dunia
Buktinya
Semakin dekat hari raya
Semakin ramai orang berbelanja
Katanya juga
Ini pertanda
Kiamat semakit dekat
Buktinya
Makin banyak orang melarat
Padahal mall dan supermarket semakin padat

Adakah memang ini gerusan jaman?
Ataukah memang pertanda melemahnya iman?
Lantas
Masihkah aku pantas menyebut diriku beriman?

~ Singgahan, 03/08/2013. 22.18. Tadarus sudah bubar tepat jam sepuluh malam. Yang terdengar hanya gelak tawa di warung kopi, dan suara Raden Kian Santang di televisi.

6 komentar:

  1. Kata-kata dalam postingan ini begitu mendalam membuat mata ini semakin hanyut menyimak arti... siip mbak, teruskan smngat untuk update blog :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah... Insyaallah... Belum bisa seaktif Mbakyuku yang satu ini... Blognya malah belum diutak-atik nih... ^_^

      Hapus