Laman

Selasa, 30 April 2013

Lomba Menulis, Lagi

Suatu Sore di Pesawahan



Langit sore. Biru, kuning dan jingga berpendar mengiring matahari. Mataku memandang jauh ke atas. Sekoloni bangau putih terbang berarak di angkasa. Berpindah menuju pesawahan yang hendak atau baru saja ditanami padi, seperti tempatku berada kini. Di sawah-sawah yang tergenang air bening seperti inilah mereka mendapatkan asupan makanan mereka. Ikan, katak, berudu, siput, dan hewan-hewan kecil favorit mereka.
Kawanan bangau itu melayang terbang mendekat. Sayap putihnya membentang. Semakin dekat. Semakin terlihat besar di mataku. Aku terkagum memandang sayap putih yang mengepak anggun itu. Beberapa ekor sudah mendarat di pesawahan dan mulai mencari mangsa. Aku masih tertegun memandang postur tinggi dan langsing yang memamerkan keindahan sayapnya di tepi pematang. Suara kecipak air yang terkoyak kaki-kaki jenjang itu mengejutkanku. Bergegas aku melesat bersembunyi di terowongan di mana saudara-saudaraku telah menunggu sedari tadi. Bagaimanapun aku tak boleh lupa, bahwa aku adalah seekor ikan.

Secuil Kisah di Suatu Pagi


Mataku lekat memandang ke arah jendela. Pemandangan sungguh indah terekam oleh mata dan hatiku. Gunung, sawah, bangau-bangau putih beterbangan di atas rumpun padi yang menghijau. Jiwaku melanglang buana ke alam hayal. Tentang harmoni gunung-gunung, sawah hijau yang kelak menguning saat hendak dipanen. Rumah-rumah kecil yang berderet di lereng bukit. Air terjun di dalam hutan yang terjaga. Alangkah indahnya.

Tiba-tiba kurasakan sebuah colekan pelan di pundakku. Aku menengok. Lelaki itu tersenyum. Aku tak mengenalnya. Kupalingkan kembali wajahku ke arah jendela. Tangan itu kembali mencolek pelan. Aku menghadapkan lagi wajahku ke arahnya. Ia masih tersenyum. Dahiku mengernyit. Aku sungguh tak mengenalnya. Kali ini dianggukkan kepalanya. Aku membalas dengan anggukan. Lalu berpaling kembali ke arah jendela, hendak melanjutkan lamunanku.

Tapi lagi-lagi lelaki itu mencolekku. Darahku mulai naik ke kepala. Dipikirnya siapa dia, mencolekku seenaknya. Dia kembali tersenyum saat aku menoleh.

“Genit.” Pikirku. Mataku melotot, berharap dia berhenti mencolek. Namun dia kembali mencolek sejurus setelah kupalingkan wajahku.

“Bapak kenal saya?” Tanyaku, berusaha untuk sopan pada yang lebih tua.

“Tidak, Mbak.” Kata lelaki setengah tua itu.

“Trus, ngapain colal-colek?” Sahutku. Kali ini agak ketus.

“Karcis, Mbak.” Tandasnya, masih dengan senyum.

Kutepuk jidatku seketika. Mengapa sampai terlupa bahwa aku berada di dalam bus antar kota.

Minggu, 28 April 2013

ULAR


Malam itu Jumat Kliwon, waktu di mana, kata orang, banyak lelembut bertebaran di muka bumi. Ranti tergesa membuka pintu dapur, bersiap menuju kamar mandi kontrakannya yang terletak di belakang rumah, 20 meter dari dapur dan terpisah oleh sumur. Ranti berhenti sejenak, mengedarkan pandangan ke arah kebun di belakang rumah yang terlihat gelap. Letak rumah kontrakan itu tersisih di pojok gang dan tak ada rumah lagi di sebelahnya. Rumah tua yang sudah agak reot. Kontras sekali dengan rumah Pak Sahlan, sang empunya kontrakan, yang tinggal di rumah mewah di mulut gang, di tepi jalan raya.
Mengingat Pak Sahlan membuat bulu kuduk Ranti berdiri seketika. Orang bilang, laki-laki tua yang kaya raya itu memelihara pesugihan ular. Awalnya Ranti tak percaya, tapi bila mengingat ia seringkali melihat ular di sekitar kontrakan, dan Pak Sahlan yang hidup mewah sedangkan ia tak pernah terlihat secara formal bekerja, keyakinannya agak goyah juga. Memang benar Pak Sahlan memiliki beberapa rumah yang dikontrakkan, tapi apa mungkin bisa hidup semewah itu dengan mengandalkan uang hasil sewa rumah yang murah meriah.
Sejenak Ranti menarik nafas di pintu dapur, menepis segala prasangkanya. Setengah berlari Ranti menuju ke kamar mandi. Tapi, brukkkk. Kakinya terantuk sesuatu di dekat sumur. Ranti tersungkur.
Ranti mengaduh, menengok ke arah benda yang membuat kakinya tersandung. Sesuatu yang semula terlihat hitam itu lama-lama terlihat jelas di bawah remang lampu dapur yang menerobos ke luar. Ular. Ya, ular. Besar. Sangat besar. Lingkar tubuhnya kira-kira sebesar betis suaminya yang gemuk. Tubuhnya bercorak kecoklatan seperti batik. Sendi-sendi Ranti terasa lemas seketika. Ingatannya kembali pada kisah Pak Sahlan yang ia dengar dari beberapa tetangga.
Ranti nanar mencari sesuatu untuk mengusir ular itu. Ular besar itu melingkarkan tubuhnya, kepalanya terangkat perlahan. Ranti meraih apa saja yang ada di dekatnya. Hanya ada sikat WC tergeletak di dekat sumur.
“Hush! Hush! Pergi!” Ranti mengayunkan sikat WC ke arah ular itu.
Alih-alih pergi, ular itu mendongakkan kepalanya ke arah Ranti. Pertanda siap menyerang. Ranti mundur dan berdiri. Ular itu menjulurkan lidahnya. Mengayun-ayunkan kepalanya ke arah Ranti. Ranti mengangkat sikat WCnya tinggi-tinggi. Mundur lagi. Ular besar itu maju pelan-pelan ke arahnya. Kepalanya masih terangkat. Lidahnya menjulur-julur, suaranya mendesis. Ranti terus mundur, dan ular itu terus maju. Mulut Ranti komat-kamit membaca ayat kursi, berharap ular besar itu lenyap dan mencari mangsa lain.
“Pasti ular jejadian, mungkin benar pesugihan!” kata hati Ranti. Ia belum pernah melihat ular besar itu di sekitar rumahnya. Ular yang sering ditemukan suaminya paling besar sepanjang gagang sapu ijuk.
Ranti menyerah, ia melempar sikat WC yang dipegangnya ke arah ular itu dan segera membalikkan badan. Ranti berlari memutari sumur, menuju dapur. Kakinya menabrak apa saja yang menghalangi jalan. Ranti tak peduli. Ia terus berlari. Kakinya kembali tersungkur di dekat pintu dapur. Segera Ranti beranjak bangkit. Terlambat. Ular itu terlalu dekat dan telah membelitkan tubuhnya di kaki Ranti. Ranti berteriak sekuat tenaga. Ular itu terus membelit. Semakin kuat. Remuk rasanya tulang-tulang Ranti. Tangan dan kakinya meronta berusaha melepaskan ular hitam itu. Ular itu terus membelit. Dan Ranti semakin berteriak. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ular itu membelit leher Ranti. Ranti tercekik, nafasnya tersengal. Tangannya masih meronta-ronta.
“Pak, bangun, Pak.” Irfan terbangun karena mendengar suara ribut. Aditya, suami Ranti, yang tertidur di kamar anaknya menggeliat dengan malas. Tapi kemudian melompat dari tempat tidur demi mendengar seseorang berteriak tertahan di tengah malam.
Mereka bergegas menuju ke arah Ranti yang meronta-ronta. Tangannya menarik-narik benda berwarna kecoklatan yang membelit tubuhnya.
“Ibuuu....” Aditya dan Irfan berteriak bersamaan mendekati Ranti. Mata Ranti terbelalak. Tangannya masih meronta. Nafasnya tersengal.
“Makanya, kalo tidur baca doa dulu. Biar ndak ngigau.” Ujar Aditya sambil melepaskan selimut batik coklat yang membelit tubuh Ranti. Sambil nyengir, Irfan beranjak mengambilkan air minum untuk ibunya yang baru saja terbangun dari mimpi.

FF ini dimuat juga di www.sambui.com

Minggu, 21 April 2013

No Title



Hidup ini penuh kejutan. Seperti Bari yang sore tadi masih berkoar di halaman rumah kami membanggakan hebatnya pekerjaan yang ditekuninya sebagai dukun di Jakarta, lalu tahu-tahu menabrak truk dan meninggal seketika selepas maghrib. Atau Nurul yang kukira seorang anak perempuan lugu, tapi tiba-tiba hamil dan menikah pada usianya yang masih empat belas. Imajinasi manusia juga penuh kejutan. Siapa sangka ada yang punya ide mengalihkan cinta Snow White pada seorang pemburu bayaran, atau membayangkan Abraham Lincoln sang bapak demokrasi Amerika ternyata seorang pemburu vampire. Tidak ada pula yang menyangka Jacob yang seorang serigala jejadian ternyata berjodoh dengan Renesmee yang separuh vampire, meskipun akhir cerita tetralogi Twilight itu sungguh sangat bisa ditebak dan akhirnya menjadikan Breaking Down 2 sebagai satu diantara beberapa film dengan cerita terburuk di Amerika. Kisah-kisah itu sungguh penuh kejutan. Dan cerita yang mudah ditebak itu sekarang terasa membosankan.

Ketika menulis dan mengarang cerita, kau bisa menorehkan apapun yang kau mau. Memutuskan pada kisah apa dan bagaimana ceritamu berakhir. Bahagia atau pedih. Tapi ini kehidupan, kenyataan. Kau tak bisa semudah maumu menduga kejadian yang akan datang di masa depan. Karena hidup sungguh memberi banyak kejutan. Tak kan ada yang menyangka seorang Susi yang terlihat sangat menderita karena terus-terusan disakiti oleh suaminya ternyata juga seorang penghianat cinta, sama seperti suaminya. Atau Rika yang kata orang perempuan nakal dan memiliki banyak lelaki ternyata bisa sangat setia sebagai selingkuhan seorang pegawai rendahan dan mau saja menjadi gundik lelaki itu tanpa imbalan apapun selain derita berkepanjangan karena kasihnya tak mungkin berubah jadi pernikahan yang diimpikan. Siapa pula yang menyangka seorang Bondan yang seorang raja tega itu tak mau makan uang haram. Hidup sungguh penuh kejutan.

Dan sanggupkah aku menciptakan kejutan dalam setiap cerita yang kutulis, seperti yang kau harapkan? Sedangkan otakku penuh dengan impian akan kisah-kisah berakhir bahagia, atau kisah-kisah tragis dengan akhir dramatis yang membuat air mata pembacanya masih luruh sampai satu jam berikutnya. Tapi bukankah kau sudah tak lagi menginginkan cerita-serita yang seperti itu? Mungkin mereka juga tidak. Semoga saja aku sanggup menulis, kisah-kisah penuh kejutan seperti yang ditawarkan kehidupan, seperti yang kau inginkan.   

Jumat, 12 April 2013

MEMULAI DARI NOL

Selamat siang dunia......

Lama tak menengok terumbu karang kecilku. Semoga masih banyak ikan berenang dan mencari makan di gugusan karang kecil yang kutanam di bawah deburan ombak. Banyak yang ingin kuceritakan pada semua yang berenang di lautan, andai cukup waktuku akan kuceritakan pada mereka semua tentang apa yang kurasa, kulihat, kudengar, kualami.

Terasa terlalu lama sudah aku berhenti. Maka kuharus mulai menulis lagi. Memulai dari titik nol. Memanaskan kembali bejana ide yang menunggu untuk kuolah jadi kata-kata, kutata dalam sajian kisah lewat puisi dan prosa. Ah, asiknya.... Meski mungkin tak indah bagi orang lain. Biarlah. Aku hanya ingin menulis dan menulis. ^_^