Laman

Selasa, 30 April 2013

Secuil Kisah di Suatu Pagi


Mataku lekat memandang ke arah jendela. Pemandangan sungguh indah terekam oleh mata dan hatiku. Gunung, sawah, bangau-bangau putih beterbangan di atas rumpun padi yang menghijau. Jiwaku melanglang buana ke alam hayal. Tentang harmoni gunung-gunung, sawah hijau yang kelak menguning saat hendak dipanen. Rumah-rumah kecil yang berderet di lereng bukit. Air terjun di dalam hutan yang terjaga. Alangkah indahnya.

Tiba-tiba kurasakan sebuah colekan pelan di pundakku. Aku menengok. Lelaki itu tersenyum. Aku tak mengenalnya. Kupalingkan kembali wajahku ke arah jendela. Tangan itu kembali mencolek pelan. Aku menghadapkan lagi wajahku ke arahnya. Ia masih tersenyum. Dahiku mengernyit. Aku sungguh tak mengenalnya. Kali ini dianggukkan kepalanya. Aku membalas dengan anggukan. Lalu berpaling kembali ke arah jendela, hendak melanjutkan lamunanku.

Tapi lagi-lagi lelaki itu mencolekku. Darahku mulai naik ke kepala. Dipikirnya siapa dia, mencolekku seenaknya. Dia kembali tersenyum saat aku menoleh.

“Genit.” Pikirku. Mataku melotot, berharap dia berhenti mencolek. Namun dia kembali mencolek sejurus setelah kupalingkan wajahku.

“Bapak kenal saya?” Tanyaku, berusaha untuk sopan pada yang lebih tua.

“Tidak, Mbak.” Kata lelaki setengah tua itu.

“Trus, ngapain colal-colek?” Sahutku. Kali ini agak ketus.

“Karcis, Mbak.” Tandasnya, masih dengan senyum.

Kutepuk jidatku seketika. Mengapa sampai terlupa bahwa aku berada di dalam bus antar kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar