Mataku lekat memandang ke arah
jendela. Pemandangan sungguh indah terekam oleh mata dan hatiku. Gunung, sawah,
bangau-bangau putih beterbangan di atas rumpun padi yang menghijau. Jiwaku
melanglang buana ke alam hayal. Tentang harmoni gunung-gunung, sawah hijau yang
kelak menguning saat hendak dipanen. Rumah-rumah kecil yang berderet di lereng
bukit. Air terjun di dalam hutan yang terjaga. Alangkah indahnya.
Tiba-tiba kurasakan sebuah colekan
pelan di pundakku. Aku menengok. Lelaki itu tersenyum. Aku tak mengenalnya.
Kupalingkan kembali wajahku ke arah jendela. Tangan itu kembali mencolek pelan.
Aku menghadapkan lagi wajahku ke arahnya. Ia masih tersenyum. Dahiku
mengernyit. Aku sungguh tak mengenalnya. Kali ini dianggukkan kepalanya. Aku
membalas dengan anggukan. Lalu berpaling kembali ke arah jendela, hendak
melanjutkan lamunanku.
Tapi lagi-lagi lelaki itu mencolekku.
Darahku mulai naik ke kepala. Dipikirnya siapa dia, mencolekku seenaknya. Dia
kembali tersenyum saat aku menoleh.
“Genit.” Pikirku. Mataku melotot,
berharap dia berhenti mencolek. Namun dia kembali mencolek sejurus setelah
kupalingkan wajahku.
“Bapak kenal saya?” Tanyaku, berusaha
untuk sopan pada yang lebih tua.
“Tidak, Mbak.” Kata lelaki setengah
tua itu.
“Trus, ngapain colal-colek?” Sahutku.
Kali ini agak ketus.
“Karcis, Mbak.” Tandasnya, masih
dengan senyum.
Kutepuk jidatku seketika. Mengapa
sampai terlupa bahwa aku berada di dalam bus antar kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar